Lukisan Tanpa Kanvas
Sore itu, senja memeluk bumi dengan
lembut, tidak terlalu menyengat, pun tak mengundang gigil. Aku membiarkan
diriku terbawa suasana, menyerahkan jemariku pada sebatang kuas yang menari di
atas kanvas putih tak bernoda. Di samping kananku, terhampar palet yang
warnanya sendiri telah lenyap, tertutup rapat oleh lautan aneka cat yang tumpah
ruah. Aku semakin tenggelam dalam imajinasi duniaku sendiri.
"Aurora!"
Aku terperanjat, kaget bukan
kepalang. Suara pekikan itu diiringi dentuman keras pintu kamarku yang dibuka
paksa. Ibuku berdiri di ambang pintu, napasnya memburu, matanya menatapku
tajam.
"Sudah Mama bilang, belajar!
Kenapa malah melukis?!" Tanpa menunggu jawabanku, Ibu melangkah mendekat
dengan langkah tergesa-gesa seperti amarah mengambil alih tubuhnya. Tangannya
sigap merebut kanvas yang lukisannya belum setengah jadi itu.
"Ma! Jangan—" Ucapanku
tercekat di tenggorokan, terpotong oleh suaranya yang melengking.
"Apa? Masih mau melukis? Mau
jadi apa kamu kalau melukis terus?! Ga ada masa depan!" Kata-kata itu
menusuk, seolah belati dingin menembus hatiku. Setelah puas melampiaskan
amarahnya, Ibu langsung menutup pintu kamarku dengan dentuman keras yang
menggelegar, lalu menguncinya dari luar.
Bukan kali pertama ini terjadi.
Dinding kamarku seolah menjadi saksi bisu setiap kali insiden serupa terulang.
Aku menghela nafas, merasakan sesak yang tak kunjung pergi. Rasanya seperti ada
tangan yang meremas paru-paruku. Air mataku sudah terlalu kering untuk
menangis. Sangat lelah dengan semua ini. Benakku kembali tenggelam dalam
kebingungan yang tak berujung, memikirkan jalan keluar yang tak berujung.
Namaku Aurora. Lebih lengkapnya, Nazeera Aurora. Cantik kan, namaku? Kata
orang-orang sih begitu. Namun bagi Ibuku, nama seindah apa pun tak akan berarti
jika tak ada gelar dokter yang tersemat di depannya.
Aku memutuskan untuk duduk di kursi
belajar, yang terasa begitu asing bagiku. Aku membuka buku anatomi yang tebal
itu, lembaran-lembaran yang penuh gambar organ dan istilah rumit seolah
mengejek. Aku mulai menyelami isinya sedikit demi sedikit, membaca setiap baris
kalimat dengan mata kosong. Tidak, aku tidak pernah tertarik pada dunia
kesehatan. Aroma obat-obatan dan rumah sakit selalu membuatku mual, dan
bayangan darah membuat perutku melilit. Ibuku sangat menuntutku untuk menjadi
seorang dokter, seolah itu adalah satu-satunya takdir yang pantas untukku.
Hari-hariku bagaikan robot. Setiap
hari, ku habiskan hanya untuk belajar. Semua demi ujian masuk fakultas
kedokteran yang semakin dekat. Kuas dan palet kusimpan rapat, jauh di dasar
lemari, tersembunyi dari pandangan Ibu dan juga dari hatiku yang merana. Aroma
cat yang dulu menenangkan kini terasa seperti kenangan yang menyakitkan.
Suatu siang, saat Ibu sedang tidak
ada di rumah, aku punya sedikit waktu luang. Jemariku tanpa sadar menjelajahi
laci meja belajarku, mencari pulpen. Alih-alih menemukan apa yang kucari,
tanganku justru menyentuh selembar brosur terlipat rapi. Aku menariknya keluar.
Itu adalah brosur pameran seni tingkat nasional yang juga membuka kesempatan
bagi seniman muda untuk memajang karya mereka. Aku sempat lupa pernah membawa
pulang brosur ini, dan membayangkan karyaku terpajang di pameran itu.
Jantungku berdebar, memukul rusukku
seperti genderang perang. Ini mungkin satu-satunya kesempatan yang kudapatkan,
dengan tangan bergetar, aku mengambil formulir pendaftaran. Aku tahu risiko
yang kuhadapi sangat besar, mungkin akan ada kemarahan Ibu yang jauh lebih
dahsyat dari sebelumnya. Aku tak bisa terus membiarkan diriku tenggelam dalam
kurungan dan harapan orang lain, termasuk Ibuku. Aku mendaftarkan diri.
Beberapa minggu kemudian, email
balasan itu datang. Sebuah surel yang kubaca berulang kali untuk memastikan aku
tidak salah lihat, untuk meyakinkan diriku bahwa ini bukan mimpi. Karyaku
terpilih! Aku akan memamerkan lukisanku di sebuah galeri terkemuka. Kebahagiaan
membanjiri relung hatiku, membuatku lupa sejenak akan ketakutan yang selalu
menghantuiku. Dengan segenap keberanian yang tersisa, keberanian yang terasa
seperti secuil api di tengah badai, aku mencetak email itu dan menaruhnya di
meja makan. Aku tahu ini adalah bom waktu, yang siap meledak kapan saja.
Ibu melihatnya, tak ada amarah yang
meledak-ledak seperti biasanya. Yang ada hanya keheningan yang mencekam, lebih
menakutkan daripada teriakan mana pun. Wajah Ibu pucat, seperti semua darah
telah mengalir pergi. Tangannya sedikit gemetar memegang kertas itu, seolah
benda itu adalah virus berbahaya. "Aurora... apa ini?" Suaranya
terdengar serak, hampir tak terdengar, penuh dengan kekecewaan yang mendalam.
"Aku... aku cuman pengen
nyoba, Ma," kataku, suaraku nyaris berbisik, serak karena takut.
Tiba-tiba, Ibu mengangkat wajahnya.
Matanya merah, bukan karena air mata, melainkan karena amarah yang tertahan dan
kekecewaan yang tak tertera. "Kamu mau bikin mama malu, ya, Aurora? Kamu
mau orang-orang tahu kalau anak mama cuman seorang pelukis? Gimana sama masa
depan kamu!? Gimana sama cita-cita mama yang sudah mamah bangun buat
kamu?!" Suaranya pecah, dan kali ini, air mata mengalir deras di pipinya.
"Mama ga bakalan ngizinin. Kamu akan tetap belajar buat ujian kedokteran.
Ga ada negosiasi!"
Kata-kata Ibu bagai tembok tak
terlihat yang menjulang tinggi di depanku, menghalangi setiap cahaya harapan.
Aku merasa sesak, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada kekuatan yang
perlahan tumbuh dalam diriku, sebuah api kecil yang kini mulai menyala. Aku
menatap Ibu, air mata juga mengalir di pipiku, tetapi bukan air mata kekalahan
atau kesedihan. Ini adalah air mata tekad.
"Aku ga bisa, Ma." ujarku
lirih, tetapi setiap kata keluar dengan tegas, penuh keyakinan. "Aku ga
bisa hidup dengan impian yang bukan kemauan aku. Aku ga bisa jadi dokter kalau
hatiku bukan di sana. Ini hidupku, Ma. Aku pengen lukis mimpiku sendiri."
Keheningan kembali menyelimuti
ruangan, lebih pekat dari sebelumnya. Ibu menatapku dengan tatapan tak percaya,
seolah baru pertama kali melihat putrinya yang selama ini hanya menuruti. Aku
tahu, keputusanku akan melukai hati Ibu. Aku tahu ini akan jadi jalan yang
panjang dan penuh rintangan, mungkin aku akan menghadapi penolakan dan
kesendirian.
"Keluar dari rumah."
Nafasku tercekat, jantungku seolah
berhenti berdetak saat Ibuku mengucapkan kata-kata itu. Suara Ibu terdengar
dingin, datar, tanpa emosi, tetapi maknanya bagai petir yang menyambar. Dunia
di sekelilingku mendadak limbung, harapan dan ketakutan bercampur aduk. Aku tak
pernah membayangkan ia akan berkata sejauh itu. Ini bukan lagi sekadar
larangan, ini adalah pengusiran.
Kakiku terasa lemas, tetapi aku
mencoba berdiri tegak. Aku menatap wajah Ibu sekali lagi, mencari jejak
kehangatan yang dulu selalu kudapatkan, tetapi yang kutemukan hanya tembok
kokoh berisi kekecewaan dan kemarahan. Perlahan, aku melangkah mundur, lalu
berbalik. Setiap langkah terasa berat, seolah menyeret beban bertahun-tahun.
Namun, saat kakiku melangkah melewati ambang pintu rumah yang dulu kurasa bagai
penjara, sebuah kelegaan aneh menyeruak. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang
sangat lama, aku merasakan secercah harapan. Aroma cat yang dulu menyakitkan
kini tercium lagi, bukan sebagai beban, tetapi sebagai janji akan kebebasan
yang baru.
Aku tak tahu kemana tujuanku. Malam
itu, aku mencari perlindungan di rumah Bibi Aurel, adik Ibu yang selalu
diam-diam mendukung minat seniku. Bibi Aurel menyambutku dengan pelukan hangat,
tanpa banyak bertanya. Aku menghabiskan beberapa hari disana, hatiku masih
perih, tetapi tanganku tak berhenti melukis. Aku menyelesaikan lukisan "Sangkar
Emas" itu, menambahkan sentuhan akhir pada sayap-sayap yang kini
tampak sedikit terbebas.
Pada hari pameran, aku berdiri di
samping karyaku. Ada ratusan pengunjung, dan beberapa berhenti cukup lama di
depan lukisanku. Aku melihat Bibi Aurel senyum bangga di kejauhan. Tidak lama
kemudian, kerumunan sedikit terbelah. Mataku membulat saat melihat sosok yang
sangat ku kenal melangkah masuk, Ibuku.
Jantungku berdegup kencang. Apakah
ini akan menjadi konfrontasi lain? Ibu berjalan lurus ke arah lukisanku,
wajahnya masih datar. Ia berdiri di sana untuk waktu yang lama, menatap lekat
setiap detail, setiap sapuan kuas. Aku melihat bahunya sedikit bergetar. Lalu,
pelan-pelan, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Bukan air mata amarah,
melainkan air mata yang tampak lelah dan penuh penyesalan.
Bibi Aurel menghampiri dan
merangkul bahu Ibu, lalu menatapku dengan tatapan pengertian. "Mama
kamu... melihat hatimu di lukisan ini, Aurora," ucap Bibi Aurel, suaranya
lembut.
Ibu perlahan menoleh padaku.
Matanya masih sembab, tetapi sorotnya tidak lagi sedingin dulu. "Mama
minta maaf, Nak," suaranya lirih, hampir tak terdengar di tengah
keramaian. "Mama... Mama cuma ingin yang terbaik buat kamu, tetapi Mama
lupa menanyakan apa yang benar-benar kamu inginkan. Mama melihat... kamu sangat
bahagia saat melukis." Ia mengulurkan tangannya, ragu-ragu. "Mama
bangga padamu, Aurora." Air mataku menetes, kali ini air mata lega dan
haru. Aku tak ragu lagi, segera memeluk Ibu erat. Aroma parfumnya yang familiar
kini terasa begitu menenangkan. Bibi Aurel ikut memeluk kami.
Sejak hari itu, tak ada lagi paksaan. Ibu memang masih sesekali menanyakan di mana fakultas yang akan kupilih, dia juga mulai mendukung minat seniku. Ia bahkan membeli beberapa perlengkapan melukis baru untukku. Pintu kamarku tak lagi terkunci dari luar. Buku-buku kedokteran tetap ada di meja, tetapi di sampingnya, kini ada kuas dan palet yang siap menari lagi. Aku tahu, jalan untuk mencapai mimpi tidak selalu mulus, tetapi kini aku tak lagi melangkah sendiri. Aku akan menjadi Nazeera Aurora, dengan kuas di tangan, melukis warna-warna kehidupan yang benar-benar menjadi milikku, didampingi restu dan cinta dari orang yang paling kucintai. Mimpi yang tertunda ini, dulu terasa seperti lukisan tanpa kanvas, kini akhirnya menemukan tempatnya di setiap langkah hidup yang kuambil.
.png)
Tidak ada komentar